Kamis, 03 Desember 2009

Oleh: Marhadi
Konsumsi Daging Sapi di Indonesia
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia (National Meat Processor Association/Nampa) Haniwar Syarif mengatakan bahwa tingkat konsumsi daging di Indonesia sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Dengan harga daging harga daging sapi yang saat ini dipasaran seharga Rp60 ribu per kg, bisa dikatakan cukup mahal bagi penduduk Indonesia, sementara di Malaysia hanya ditawarkan dengan Rp20 ribu per kg. “Konsumsi daging per kapita di Indonesia jauh lebih rendah yakni sekitar 1 kg, sedangkan di Malaysia mencapai 10-15 kg,” sebut dia.
Berdasarkan konsumsi daging perkapita yang hanya 1kg berarti konsumsi daging sapi sangat rendah, padahal menurut Hardinge & Shryock (2003) kebutuhan protein hewani pada pria dewasa sebanyak 56 gram per hari sedang untuk wanita sebesar 44 gram, rerata kebutuhan protein perhari adalah 50 gram jumlah ini juga yang dianjurkan oleh World Health Organisation (WHO). Terlihat bahwa bangsa Indonesia masih jauh tertinggal dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani.
  • Permasalahan Dalam Industri Pembibitan Sapi Potong di Indonesia
Hadi dan Ilham (2002) menyatakan terdapat beberapa permasalahan dalam industri perbibitan sapi potong, yaitu: 1) angka service per conception (S/C) cukup tinggi, mencapai 2,60, karena terbatasnya fasilitas pelayanan inseminasi buatan (IB), baik ketersediaan semen beku, tenaga inseminator maupun masalah transportasi, 2) calving interval terlalu panjang, dan 3) tingkat mortalitas pedet prasapih tinggi, ada yang mencapai 50%. Oleh karena itu, usaha pembibitan harus diiringi dengan upaya menekan biaya pakan. Salah satu upaya untuk menekan biaya pakan adalah dengan memanfaatkan limbah kebun dan pabrik sebagai sumber pakan melalui pemeliharaan sapi secara terintegrasi pada kawasan perkebunan atau areal tanaman pangan.
Selain itu pengamanan pangan daging sapi di Indonesia pun belum ketat, sehingga mutlak perlu dilakukan pengawasan untuk menjamin masyarakat sebagai konsumen mendapatkan daging yang aman untuk dikonsumsi. Masalah keamanan pangan daging sapi ini kondisinya terus berkembang, bersifat dinamis seiring dengan berkembangnya peradaban manusia yang meliputi aspek sosial budaya, kesehatan, kemajuan Iptek yang terkait dengan kehidupan manusia. Sebagai bahan pangan, daging memeiliki potensi bahaya yaitu biologi, kimia, dan fisik. Bahaya biologi dapat disebabkan oleh bakteri, parasit, virus, fungi; bahaya kimia dapat ditimbulkan adanya cemaran residu antibiotik, hormon, pestisida, zat pengawet/bahan aditif lainnya, dan bahaya fisik seperti tulang, logam, kayu, plastik, dan lain-lainnya. Bahaya-bahaya tersebut dapat terjadi pada daging sapi selama proses penyediaannya dan dapat mengganggu merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
Beberapa hal yang menjadi penyebab masih munculnya kasus-kasus keracunan makanan oleh sumber bahaya tersebut adalah:
1. Pengetahuan masyarakat sangat rendah
2. Fasilitas RPH yang kurang memenuhi persyaratan
3. Tindakan curang/kriminal bermotif ekonomi
4. Perubahan tata pemerintahan dan lemahnya perangkat hukum dan penegakkannya
  • Potensi Beternak Sapi Potong di Indonesia
Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Laju peningkatan populasi sapi potong relatif lamban, yaitu 4,23% pada tahun 2007 (Direktorat Jenderal Peternakan 2007). Kondisi tersebut menyebabkan sumbangan sapi potong terhadap produksi daging nasional rendah. Pada tahun 2006, tingkat konsumsi daging sapi diperkirakan 399.660 ton, atau setara dengan 1,70−2 juta ekor sapi potong (Koran Tempo 2008), sementara produksi hanya 288.430 ton.
Populasi sapi potong pada tahun 2007 tercatat 11,366 juta ekor (Direktorat Jenderal Peternakan 2007). Populasi tersebut belum mampu mengimbangi laju permintaan daging sapi yang terus meningkat. Rendahnya populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara oleh peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas.
Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Sapi potong telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak.
Tabel 1. Populasi ternak ruminansia di Indonesia, 2003−2007 .
Jenis Ternak Ruminansia
Populasi (ooo ekor)
2003
2004
2005
2006
2007
sapi potong
10.504
10.533
10.569
10.875
11.366
kerbau
2.459
2.403
2.128
2.167
2.246
sapi perah
374
364
361
369
378
kambing
12.722
12.781
13.409
13.79
14.874
domba
7.811
8.075
8.327
8.98
9.86
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2007).


Tabel 2. Produksi daging ternak ruminansia di Indonesia, 2003−2007.
Jenis Ternak Ruminansia
Produksi (t)
2003
2004
2005
2006
2007
sapi potong
369,70
447,60
358,70
395,80
418,20
kerbau
40,60
40,20
38,10
43,90
45,90
Kambing
63,90
57,10
50,60
65,00
63,40
Domba
80,60
66,10
47,30
75,20
84,40
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2007).


  • Upaya Penyediaan Daging Sapi di Indonesia
Peningkatan permintaan terhadap daging sapi membuka peluang bagi pengembangan sapi potong lokal dengan skala agribisnis melalui pola kemitraan. Sistem agribisnis sapi potong merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan pertanian, industri, dan jasa secara simultan dalam suatu kluster industri yang mencakup empat subsistem, yaitu subsistem agrisbisnis hulu, subsistem agribisnis budi daya, subsistem agribisnis hilir, dan subsistem jasa penunjang. Kemitraan merupakan kegiatan kerja sama antarpelaku agribisnis mulai dari tingkat praproduksi, produksi hingga pemasaran, yang dilandasi azas saling membutuhkan dan menguntungkan di antara pihak-pihak yang bekerja sama, dalam hal ini perusahaan dan petanipeternak sapi potong, untuk saling berbagi biaya, risiko, dan manfaat.
Untuk meningkatkan peran sapi potong sebagai sumber pemasok daging dan pendapatan peternak, disarankan untuk menerapkan sistem pemeliharaan secara intensif dengan perbaikan manajemen pakan, peningkatan kualitas bibit yang disertai pengontrolan terhadap penyakit. Perbaikan reproduksi dilakukan dengan IB dan penyapihan dini pedet untuk mempersingkat jarak beranak. Untuk memperbaiki mutu genetik, sapi bakalan betina diupayakan tidak keluar dari daerah pengembangan untuk selanjutnya dijadikan induk melalui grading up. Peningkatan minat dan motivasi peternak sapi potong untuk mengembangkan usahanya dapat diupayakan melalui pemberian insentif dalam berproduksi.


DAFTAR PUSTAKA


Artikel Ekonomi Nusantara, edisi jum’at 08 Mei 2009. ( Konsumsi Daging di Indonesia Rendah) / (cha/JPNN)
Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2002. Problem dan prospek pengembangan usaha pembibitan sapi potong di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(4): 148− 157.
Hardinge MG., and Shryock H. 2003. Kiat Keluarga Sehat; Mencapai Hidup Prima dan Bugar. Supit R dan Siboro PA, penerjemah; manulang JF, editor. Bandung: Indonesia Publishing House. Terjemahan dari: Family Medical Guide to Health and Fitness.
Koran Tempo. 2008. Indonesia belum siap impor sapi Brazil. Edisi Senin, 13 Oktober 2008. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar